Monday, December 6, 2010

Biografi Sudono Salim

Sekilas Mengenai Sudono Salim


Nama
Sudono Salim

Nama Asli
Liem Sioe Liong
Lahir
Tiongkok, 10 September 1915

Jabatan
Pendiri Salim Group

Penghargaan
Bintang jasa Satya Lencana Pembangunan
Pengusaha Sudono Salim, yang bernama asli Liem Sioe Liong, sempat menduduki peringkat pertama sebagai orang terkaya di Indonesia dan Asia. Bahkan, konglomerat yang dikenal dekat dengan mantan Presiden Soeharto, ini sempat masuk daftar jajaran 100 terkaya dunia. Setelah krisis ekonomi dan reformasi politik, kekayaannya menurun.

Dia pun memilih lebih lama tinggal di Singapura, setelah rumahnya Gunung Sahari Jakarta dijarah dan diobrak-abrik massa reformasi. Kerusuhan reformasi 13-14 Mei 1998, itu tampaknya membuat Om Liem trauma tinggal di Indonesia.

Walaupun kadang kala dia masih datang ke Indonesia, tapi hampir tidak pernah lama. Semua bisnisnya di Indonesia dikendalikan oleh anaknya Anthony Salim. Di bawah kendali Anthony Salim, belakangan kerajaan bisnisnya bangkit kembali dan tak mustahil akan kembali menjadi terkuat di Indonesia.

Sabtu 10-11 September 2005, Om Liem merayakan hari ulang tahunnya yang ke-90 di Hotel Shangri-La Singapura. Acara berlangsung khidmat dan meriah dihadiri isteri, anak, cucu, dan kerabatnya. Dia tampak sehat dan bisa melangkah dengan sempurna. Dia juga menyampaikan sambutan dengan lancar.
Perayaan itu dihadiri sekitar 2.000 orang. Kebanyakan datang dari Indonesia dan sebagian dari Hongkong, Tiongkok, dan negara-negara lain. Para undangan mendapat pelayanan sebaik mungkin. Tidak hanya penginapan di Hotel Shangri-La, tetapi juga diberi tiket pesawat pulang-pergi (PP), meski banyak yang memilih membayar tiket sendiri. Beberapa mantan pejabat dari Indonesia tampak hadir. Di antaranya Harmoko, Akbar Tandjung, Fuad Bawazier, Bambang Soebijanto, dan Agum Gumelar. Juga beberapa pengusaha seperti Mochtar Riyadi, Prajogo Pangestu, A Guan, Ciputra, Rachman Halim, dan Bintoro Tanjung.Pesta perayaan HUT 90 itu diadakan dua malam berturut-turut. Pada hari pertama untuk teman-teman dan relasi bisnisnya yang datang dari Indonesia dan Tiongkok. Hari kedua untuk undangan dari Singapura, Amerika, dan Eropa. Kedua acara itu, antara lain, diisi pemutaran film dokumenter Om Liem.Film dokumenter itu mengisahkan perjalanan hidup Om Liem. Di mulai tahun 1938, Tiongkok dilanda Perang Dunia Kedua. Lalu, Jepang menyerbu dengan kejamnya. Ketika itu banyak pemuda Tiongkok yang ingin menghindari perang, mereka pergi ke arah selatan (Indonesia).

Pemuda Liem yang kala itu berumur 21 tahun diperankan oleh aktor memakai kaus putih dan celana panjang putih memanggul bangkelan (karung kecil dari kain) yang berwarna putih juga. Beberapa saat anak muda Liem berdiri di atas bukit menghadap ke laut. Dia menatap ke laut yang luas. Di kejauhan, dia melihat sebuah kapal kecil yang sedang berlabuh. Dia melangkah menuju kapal itu dan naik.Setelah berlayar sekian lama, kapal itu mendarat di Surabaya. Saat itu dia berharap akan dijemput kakaknya yang sudah lebih dulu merantau ke arah selatan (nusantara). Ternyata, harapannya tidak terpenuhi.

Selama empat hari dia tertahan di pelabuhan Surabaya. Tidak makan dan tidak minum. Imigrasi di Surabaya juga tidak membolehkannya keluar dari pelabuhan.Sampai akhirnya, kakaknya datang menjemput. Liem dibawa ke Kudus untuk memulai bekerja di perusahaan rumahan, membuat kerupuk dan tahu. Di Kudus Liem berkenalan dengan gadis asal Lasem. Gadis itu sekolah di sekolah Belanda Tionghoa. Liem melamarnya, tapi orang tua si gadis tidak mengizinkan, lantaran takut anak gadisnya akan dibawa ke Tiongkok. Kekuatiran itu timbul melihat tampang Liem yang masih totok. Tapi, Liem tak mau menyerah. Akhirnya lamarannya diterima dan diizinkan menikah. Pesta pernikahannya, bahkan dirayakan selama 12 hari. Maklum, keluarga isterinya cukup terpandang. Setelah menikah, Liem makin ulet bekerja dan berusaha. Usahanya berkembang. Tapi, ketika awal 1940-an, Jepang menjajah Indonesia, usahanya bangkrut. Ditambah lagi, dia mengalami kecelakaan. Mobil yang ditumpanginya masuk jurang. Seluruh temannya meninggal. Hanya Liem yang selamat, setelah tak sadarkan diri selama dua hari. Kemudian, Liem pindah ke Jakarta. Seirama dengan masa pemerintahan dan pembangunan Orde Baru, bisnisnya pun berkembang demikian pesat. Pada tahun 1969, Om Liem bersama Sudwikatmono, Djuhar Sutanto dan Ibrahim Risjad, yang belakangan disebut sebagai The Gang of Four, mendirikan CV Waringin Kentjana. Om liem sebagai chairman dan Sudwikatmono sebagai CEO. Perusahaan ini bergerak di bidang perdagangan, ekspor kopi, lada, karet, tengkawang dan kopra serta mengimpor gula dan beras.

The Gang of Four ini kemudian tahun 1970 mendirikan pabrik tepung terigu PT Bogasari dengan modal pinjaman dari pemerintah. Ketika pertama berdiri, PT Bogasari berkantor di Jalan Asemka, Jakarta dengan kantor hanya seluas 100 meter.

Kemudian tahun 1975 kelompok ini mendirikan pabrik semen PT Indocement Tunggal Perkasa. Pabrik ini melejit bahkan nyaris memonopoli semen di Indonesia. Sehingga kelompok ini sempat digelari Tycoon of Cement. Setelah itu, The Gang of Four ditambah Ciputra mendirikan perusahaan real estate PT Metropolitan Development, yang membangun perumahan mewah Pondok Indah dan Kota Mandiri Bumi Serpong Damai.

Selain itu, Om Liem juga mendirikan kerajaan bisnis bidang otomotif di bawah bendera PT Indomobil. Bahkan merambah ke bidang perbankan dengan mendirikan Bank Central Asia (BCA) bersama Mochtar Riyadi. Belakangan Mochtar Riady membangun Lippo Bank.

Ketika itu, Om Liem pernah jadi orang terkaya di Indonesia dan Asia. Serta masuk daftar 100 orang terkaya dunia.

Namun, seirama dengan mundurnya Presiden Soeharto dan akibat terjadi krisis moneter, bisnis dan kekayaannya pun turun. Bahkan, Om Liem terpaksa memilih bermukim di Singapura, setelah rumahnya di Gunung Sahari dijarah massa reformasi. Setelah situasi kembali membaik, usahanya yang dipimpin puteranya Anthony Salim dan para manajer profesional, kembali mulai bangkit.

Sunday, December 5, 2010

Belajar dari William Soerjadjaja

Sekilas Tentang William Soerjadjaja

Nama
William Soerjadjaja

Panggilan
Om Willem

Lahir
Majalengka, 20 Desember 1923

Istri
Lily Anwar (Menikah di Bandung, 15 Januari 1947)

Anak
- Edward (21 Mei 1948)
- Edwin (17 Juli 1942)
- Joyce (14 Agustus 1950)
- Judith (14 Februari 1952)


Jabatan
Presiden Komisaris SIMA (PT Siwani Makmur Tbk)


Alamat
PT Siwani Makmur Tbk
Jalan Teluk Betung No 38, Jakarta 10230
Tel (021)2302257
Fax (021)2302245


Pabrik
Jalan Gedong Panjang Ujung 12 B, Muara Baru
Jakarta 14440
Tel (021)6600976
Fax(021)6600011


Ketulusan Tapian Panutan
Pendiri PT Astra Internasional dan Presiden Komisaris SIMA (PT Siwani Makmur Tbk), kelahiran Majalengka 20 Desember 1923, ini seorang anak manusia pilihan yang menyerahkan semua impian dan cita-dukanya kepada Sang Pencipta yang Alfa dan Omega. William Soerjadjaja yang akrab dipanggil Oom Willem adalah taipan panutan yang tulus mencintai bangsanya.


Andalkan Resep Saling Memberi
Tanggal 15 Januari merupakan tanggal bersejarah untuk pasangan William Soeryadjaya dan Lily Anwar. Pasangan taipan yang menikah di Bandung tahun 1947 itu merayakan ulang tahun pernikahan yang ke-60. Kepada Pembaruan, mereka membagi nostalgia cinta di masa silam.

Impian adalah sebuah kekuatan awal yang tidak mudah mewujudkannya. Tapi banyak orang yang mencapai sukses yang bermula dari suatu impian. Salah satu yang berhasil mewujudkan impiannya adalah William Soeryadjaya, pendiri PT Astra Internasional. Ia seorang anak manusia yang menyerahkan semua impiannya kepada Tuhan. Dan, ia telah meraih impian-impiannya.

Kendati, dalam romantika pencapaian impiannya, ia juga mengalami jatuh-bangun, ia tetap bersujud kepada Tuhan, Sang Pencipta yang Alfa dan Omega.

Salah satu mimpinya yang terwujud gemilang adalah PT Astra Internasional. Hanya dalam tempo 13 tahun sejak berdirinya PT Astra Internasional pada tahun 1957, tak kurang dari 72 perusahaan telah bernaung di bawah bendera grup tersebut. Di akhir tahun 1992, jumlah itu telah merambah menjadi sekitar 300 perusahaan yang bergerak di berbagai sektor, tidak hanya dalam sektor otomotif tetapi juga sektor keuangan, perbankan, perhotelan dan properti.

Mimpi ini bermula sejak Oom Willem menjalani masa kecil dan remajanya di Majalengka, Cirebon. Jiwa wiraswasta dari sang ayah, yang mengalir di dalam dirinya dari usia dini, telah menempanya ulet, cerdas, inovatif dan peka atas nalurinya dalam meniti bisnis demi bisinis. Dari berdagang hasil bumi dan minyak goreng di Jawa Barat, dan berdagang kacang dari Bandung ke negeri Belanda pada 1947, semasa studi di negeri kincir angin itu, Oom Willem tidak kenal kata menyerah. Ia ulet, bekerja keras dan berdoa.

Pengalaman jatuh-bangun pastilah dialami setiap orang pebisnis. Demikian juga halnya pengalaman Oom Willem. Namun, ia menegaskan: "Kerugian tidak pernah menyurutkan semangat hidup saya." Hal ini dibuktikannya dalam menyikapi suka-dukanya di PT Astra Internasional, yang didirikan dan dibesarkannya tetapi harus dilepaskannya, demi tanggung jawab pribadinya atas masalah yang menimpa Bank Summa, milik putera sulungnya Edward Soeryadjaya, di tahun 1992.

Hal ini telah menghantarkannya dan segenap keluarganya ke masa-masa yang amat sulit. Namun, kesulitan itu tidak sampai mengambil suka-cita yang bersemi di hatinya. Ia menyerahkan semuanya kepada kehendak Allah.

Oom Willem, memang bukan sekedar figur pebisnis yang sukses dalam bidangnya. Sebagai pendiri PT Astra Internasional, Oom Willem memang bukan saja telah mendirikan sebuah perusahaan yang dihormati baik di dalam maupun luar negeri oleh karena profesionalisme dan integritasnya. Lebih dari itu, lewat visi dan komitmen sosialnya, Oom Willem juga telah membuktikan sumbangsihnya kepada bangsa Indonesia dalam mengangkat ekonomi nasional dalam arti seluas-luasnya, di antaranya menciptakan lapangan kerja bagi puluhan ribu masyarakat Indonesia.

Visi memang merupakan salah satu kata kunci dalam kiat menyelami tokoh bangsa yang pada usianya yang sudah berkepala delapan, tetapi masih terlihat bugar ini. Visi tersebut yang memandu seluruh kemampuan, dan terutama dalam pengembangan sumber daya manusia, serta pencapaian tujuan dengan penerapan azas corporate governance yaitu transparency (transparansi), responsibility (tanggung jawab) dan accountability (pertanggungjawaban). Dimensi-dimensi ini yang acap kali tergeser ataupun terlupakan oleh sementara orang, dalam prioritas pengembangan bisnis maupun perekonomian.

Semenjak berdirinya Astra, Oom Willem selalu mementingkan pengembangan kemampuan dan peningkatan pendidikan sumber daya manusia, yang kemudian diterapkan secara konsisten dalam program-program pelatihan dan beasiswa bagi karyawan. Pada saat awal tahun 70-an, banyak tenaga kerja yang dikirim ke Amerika, Eropa maupun Jepang untuk menambah ilmu dan keterampilan.

Lebih lagi, kesan yang sangat melekat pada diri Astra adalah banyaknya tenaga kerja pribumi yang dipekerjakan, baik pada tingkat karyawan biasa maupun dalam jajaran pimpinan. Ini salah satu wujud ketulusan, kebanggaan dan kecintaannya sebagai warga bangsa Indonesia kepada bangsa dan negaranya. "Saya cinta Indonesia, saya lahir, hidup dan berkarya di Indonesia," tandas Oom Willem dengan tulus.

Selain itu, Oom Willem sangat mementingkan nilai-nilai seperti naluri, loyalitas dan rasa percaya dalam merekrut tenaga. Dengan basis ini, banyak inovasi bisnis dari pihak karyawan yang disetujui untuk diuji-coba apabila dianggap layak, agar para karyawan terpacu untuk mengasah kreativitas mereka. Rasanya tidaklah berlebihan apabila sebagai sebuah perusahaan, nama Astra tidak terlepas dari sejarah, dan menjadi identik dengan kata-kata seperti integritas, dan public service (layanan kepada masyarakat).

Kendati demikian, PT Astra pun mengalami jatuh-bangun, banyak mendapat guncangan, terlebih dari lawan-lawan bisnis yang boleh jadi iri hati atas suksesnya. Oom William dijatuhkan lewat penutupan Bank Summa milik Edward Soeryadjaya, anak pertamanya, periode tahun 1992-1993. Inilah badai terbesar dalam perjalanan bisnis sang pendekar ini.

Oom William pasrah. Ia selalu kembalikan kepada Tuhan. Ia selalu berpegang pada prinsip: Manusia berusaha, Tuhan menentukan. Yang paling penting baginya ketika itu adalah nasib para karyawan dan nasabah Bank Summa. Ia teramat sedih membayangkan pegawai sebanyak itu harus kehilangan mata pencahariannya. Oleh karenanya ia rela menjual saham-sahamnya di Astra guna memenuhi kewajiban Bank Summa.

Banyak spekulasi yang berkembang ketika Oom Willem terpaksa menjual sahamnya di Astra. Spekulasi yang banyak diyakini orang adalah adanya rekayasa pemerintah untuk menjatuhkan Oom Willem. Namun, Oom Willem sendiri tidak pernah merasa dikorbankan oleh sistem. Semua itu dianggapnya sebagai konsekuensi bisnis. Ia tidak mau larut dalam tekanan spekulasi dan keluhan. Melainkan ia pasrah dengan tulus kepada kehendak Tuhan. Dengan ketulusan itu pula, ia terus melangkah maju ke depan dengan pengharapan yang hidup. Dan, kini, salah satu kepeduliannya yang terbesar adalah bagaimana Astra dapat terus berperan sebagai agen pertumbuhan ekonomi nasional, yang antara lain dapat membuka lapangan kerja lebih luas.

Memang, membuka lapangan kerja, adalah salah satu impiannya yang tetap membara dari dulu hingga kini. Sebuah impian dan obsesi yang dilandasi kepeduliannya kepada sesama. "Salah satu hasrat saya dari dulu adalah membuka lapangan kerja," katanya. Apalagi kondisi Indonesia saat ini, yang dilanda krisis ekonomi, yang berakibat bertambahnya pengangguran.

Impian inilah yang mendorong Omm Wilem membeli 10 juta saham PT Mandiri Intifinance. Di sini, ia mengumpulkan dana untuk diinvestasikan ke dalam pengembangan usaha petani-petani kecil dan small and medium enterprises (usaha-usaha kecil dan menengah). Agar dapat menciptakan lapangan-lapangan kerja baru dan meningkatkan daya beli masyarakat, yang pada akhirnya akan mengangkat bangsa ini dari keterpurukan

Friday, March 19, 2010

Jalan Jalan dengan Pemandangan Terindah di Dunia

Jalan dengan pemandangan terindah di dunia


“Bridge to Terabithia” screenshot, Walt Disney Pictures, site

Let’s start with:
Columbia Gorge Historic Highway 30



(image credit: Thad Roan)

The Biggest Concentration of Waterfalls

…awaits you on that winding, enchanting piece of road. Every waterfall is unique, imposing and simply serene . Each waterfall sits in the lush forest amphitheater, surrounded by gigantic cliffs and fanciful eroded stone.


Horsetail Waterfall & Shepperd’s Dell rocks


Note how the spread of lichen on the right also “emulates” waterfall…

Multnomah Falls is the second-tallest waterfall in the nation (Yosemite Falls in California is the tallest) – with undeniable artistic (almost Old World) charm:

Spring is the best time to visit, to avoid crowds and to catch the brilliant-fresh vegetation. Be prepared to be greeted by the “Tunnel of Trees”:

The Historic Columbia River Highway was built in 1913-1922 with multitude of bridges over the dizzying chasms. Over the years it was often called “The King of Roads”:


Shepperd’s Dell falls


The Mitchell’s Point Tunnel and Hercules Pillars, source

A quiet forest walk to the Latourell Falls is the perfect medicine against modern day stress.


Latourell Falls with curious eroded rock formations

Don’t miss the classic “Crown Point” where countless tourists take pictures of the same view over and over again. It is definitely an awesome view, though.

Once you’ve driven the stretch to nice little town of Corbett, you have a choice either to continue on to Portland, or embark on another scenic drive – around Mount Hood (where the famous Timberline Lodge stands – the eternally spooky location of “The Shining” movie fame)

If you come to Portland, be sure to wear some flowers in your hair

It seems Portland (the official dwelling place of book, coffee, craft beer & outdoors fanatics) blooms like there is no tomorrow, in these early days of May. Some of the flower-scapes are from the world-class Japanese Gardens, but others are… just because:

Portland’s Japanese Gardens:


A great way to explore Portland (which has a very compact and walkable downtown core) is to get on the Max Light Rail… but again, don’t let the urban pleasures to swallow you up (it’s awfully hard to tear yourself from this friendly and sophisticated city – though I admit, I did not check out San Francisco yet)

Get going to the Oregon Coast (touristy, but still great Cannon Beach). In less than a couple of hours you will be gazing on the enormous Haystack Rock and wonder how many tentacles anemones have. Again, the middle of May is great time to escape the crowds that descend there during summer.


(on the left is yours truly; on the right is 1940 Oregon Coast Tour)

Don’t leave without checking out the mind-blowing Ecola State Park – and head along Hwy.101 to Tillamook – and the next “Most Beautiful Road in the World”:

Three Capes Scenic Route, Oregon Coast

Here is a comparatively little-known Oregon Coast gem, off the main highway – an area where locals themselves go to unwind and get quality beach time. You can drive the whole loop in a few hours, or you can spend a week there – this is a quintessential Pacific Coast experience.


Ahhh… this is the life: a rare (admit it) sunshine spring day on the Oregon Coast, when after days of mysterious but still pretty annoying fog (or more gracefully “mist”) the mountains and various off-shore rocks are coming into view – and the ocean asserts its magnificent presence.

First off, I have to warn you: the road from Cape Meares village (no services) to the Cape Meares Lighthouse is so full of potholes, that even animals might break a leg there. So drive carefully, it gets much better from there. Here is mile-by-mile infoabout this route.

The Lighthouse is quaint (built in 1890) and a bit on a smallish scale – but worth checking out:

The road will take you to three capes (with three distinct views to enjoy) – Cape Meares, Cape Lookout and Cape Kiwanda:

Ocean is such a huge, non-negotiable presence that any troubles or worries you might have swiftly shrink and run away (I do wonder how any business is done at all at such locations). The forest around the ocean beaches is unbelievably green, lush and soothing:

You will also pass sand dunes (no need to go all the way to Florence, Oregon, for that):

Added Bonus: Drive your car into the ocean

Sometimes called McPhillips beach, this is Cape Kiwanda nirvana+paradise. Happy cars frolic in shallow waters on the sandy beach, happy surfers happily surf – you get the idea. The beach features another “haystack”-kind of huge rock (just for added visual interest)

Continue on along the Oregon Coast – there are endless wonders and fresh vista to delight and astound, literally at every turn. In the next parts of this series we will feature most scenic roads in Canada, Asia, Europe, etc.


(image credit: 1940 Oregon Coast Tour)